Kisah Cinta yang DIRINDU SURGA
Assalamualaikum Wr.wb
Jika cinta adalah matematika
Maka yang mencintai kita akan mengalikan kebahagiaan sampai tak terhingga, membagi kesedihan hingga tak berarti, menambah keyakinan hingga utuh, menurangi keraguan hingga habis.
( Salim A Filah, jalan cinta para pejuang )
*Siapakah yang tidak mengenal Wanita Ini?
Namanya adalah Fatimah binti Muhammad (606/614 - 632) atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra yang berarti Fatimah yang selalu berseri. Dalam Bahasa Arab: فاطمة الزهراء. Ia merupakan putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah. Ia putri yang mirip dengan ayahnya, bahkan Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah. Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui istri istrinya dan jika Fatimah datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu
menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang
diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya.
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan
putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang
kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki
kepribadian yang sabar,dan penyayang karena ia tidak pernah melihat
atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali
menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah
berkata " Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia"
Dan ini Pangeran kita!
Namanya Alī bin Abī Thālib dalam bahasa Arab: علي بن أﺑﻲ طالب. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661. Ia adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua, dan Pedang berkilau adalah Harta kekayaannya. Ali juga menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali sendiri merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Nabi Muhammad SAW sangat Bahagia akan Kelahiran Ali bin Abi Thalib karena beliau tidak punya anak laki-laki. Keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga dari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.
Ali senantiasa selalu menjaga Pandangannya untuk tidak melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Bahkan pernah suatu kali saat ia melakukan pertempuran ia melihat pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan pertempuran hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Dan ini Pangeran kita!
Namanya Alī bin Abī Thālib dalam bahasa Arab: علي بن أﺑﻲ طالب. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661. Ia adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua, dan Pedang berkilau adalah Harta kekayaannya. Ali juga menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali sendiri merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Nabi Muhammad SAW sangat Bahagia akan Kelahiran Ali bin Abi Thalib karena beliau tidak punya anak laki-laki. Keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga dari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.
Ali senantiasa selalu menjaga Pandangannya untuk tidak melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Bahkan pernah suatu kali saat ia melakukan pertempuran ia melihat pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan pertempuran hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Dalam kisah lain, dengan susah payah seorang
pengemis datang memasuki Masjid Nabawi di Madinah untuk meminta sesuatu.
Sayang, ia hanya melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan khusyuk. Rasa
lapar yang kuat mendorongnya untuk meminta-minta kepada orang-orang yang sedang
shalat. Namun tak satupun menghiraukan dan tetap khusyuk dalam shalatnya.
Diambang keputusasaannya, pengemis itu mencoba
menghampiri seseorang yang khusyuk melakukan rukuk. Kepadanya ia minta belas
kasihan. Ternyata kali ini ia berhasil. Masih dalam keadaan rukuk, orang itu
memberikan cincin besinya kepada pengemis itu. Tidak lama setelah itu,
Rasulullah memasuki masjid, melihat pengemis itu lalu mendekatinya.
“Adakah orang yang telah memberimu sedekah?”
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56).
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56).
http://www.desainkawanimut.com |
CINTA...............................
SEBUAH KATA YANG MAAPU MENIMBULAKAN GEJOLAK DIHATI, YANG SANGGUP MEMABUKKAN HAMPIR SELURUH PENDUDUK BUMI.
Cinta sejati adalah cinta yang selalu bersemi dengan tidak memandang Rupa, Harta maupun Pangkat yang ada padanya. Cinta sejati tidak akan menyakiti, membodohkan atau bahkan menyesatkan. Cinta sejati juga tidak akan menghalangi cinta seseorang kepada Allah dan RasulNYA. Cinta anak adam kepada Ayah Ibunya, Suaminya, Kakaknya, Adiknya, Anak-anaknya dan semua yang dimilikinya di dunia. Mungkin ini hanya sebuah kisah lama tetapi saya berharap kita dapat belajar dari kisah cinta Insan Manusia yang begitu di rindukan Surga dan di Irikan oleh para Bidadari Surga.
Kisah cinta Ali dan Fatimah adalah salah satu kisah yang penuh Romantika dan Keberkahan dari Allah SWT. Fathimah adalah teman karib Ali semenjak kecil, puteri
tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah
yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya
maupun kecerdasannya sungguh memesonanya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah
memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya
(Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar
perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.
Muhammad ibn ’Abdullah (sang
ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para
pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang
Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali
bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah
laku Fatimah) disebut cinta?.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki
yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang
membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib.
Ia merasa diuji karena
merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin
Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam
hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti
maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar
berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah,
Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib)
semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang
dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.
Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga
miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku,
aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”.
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan
cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah
menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar
ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan
diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk
Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan
dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar
dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”.
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab
melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,
dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’.
Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib),
sekali lagi sadar.
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak,
dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib
pun ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk
menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu
membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung
ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di
antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?”.
”Kami
di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali bin Abi Thalib pun menghadap
Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya
menikahi Fathimah.
Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
”Engkau pemuda
sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang
siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” .
Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga.
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar
bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa
fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” .
Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia
mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan
yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan
oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan
aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada
seorang pemuda”.
Ali bin Abi
Thalib terkejut dan berkata,
“Kalau
begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah
dirimu”.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi
Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin
empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar
tersebut.”.
Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
0 Response to "Kisah Cinta yang DIRINDU SURGA"
Posting Komentar