Wanita - Wanita Penghuni Surga
Bagian 1
AISYAH*
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat, yaitu Asiyah istri
Fir’aun, Maryam putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti
Muhammad.” (HR Bukhari & Muslim)
AISYAH*
Banyak orang yang mungkin tidak mengenal sosok wanita yang satu ini, dia adalah AISYAH. Namanya sama seperti istri nabi Muhammad SAW tetapi ia justru istri Fir'aun seorang pembangkang Allah terkeras sepanjang masa. Aisyah adalah salah satu wanita hebat
dunia akherat.
Di dunia, Aisyah adalah istri salah satu raja yang paling berkuasa,
kaya dan perkasa sepanjang sejarah manusia, Fir’aun. Dia juga ibu angkat
yang sangat pengasih dari salah seorang Nabi besar, Musa AS. Dalam
ukuran “duniawi” tidak ada yang perlu membantah “kemuliaannya”. Tetapi
kemuliaan duniawinya ini tidak lantas membuatnya lupa diri. Di tengah gelimang harta dan rizky duniawi lainnya, Aisyah tetaplah
seorang wanita dengan hati yang lembut tapi teguh. Hati lembut yang
mampu menangkap getaran “kebenaran Ilahi” yang alhamdulilah
mengantarkannya sebagai salah satu orang pertama yang beriman kepada
Tuhannya Musa dan Harun. Dan hatinya yang teguh membuat keimanannya tak
tergores sedikitpun walaupun dia harus tinggal di tengah-tengah pusat
kemaksiatan dan pengingkaran kepada Allah, bahkan menjadi pendamping
hidup orang yang dikenal sebagai pembangkang Allah terkeras sepanjang
masa.
Entah berapa kali Aisyah harus memendam sakit hati dan kejengkelannya
tiap kali melihat polah Fir’aun menantang dan menghina Tuhannya.
Mungkin sama jengkelnya dengan kita terhadap publikasi kartun-kartun
yang mencemooh Rasulullah SAW, lagak “tak bersalah” si penerbitnya, dan
tingkah para pendukungnya yang di antaranya mengatakan agar kartun itu
diterbitkan saja tiap hari selama seminggu supaya umat Islam jadi
“terbiasa”. Bedanya, saat ini kita masih bisa mengekspresikan kemarahan
kita, sementara Aisyah harus menyembunyikannya karena mengikuti anjuran
Musa yang mengkhawatirkan keselamatan ibu angkat yang disayanginya.
Memang bukan hal gampang menjadi “orang suci di sarang penyamun”
macam ini. Di samping harus siap “makan hati” terus-terusan, Aisyah pun
harus melalui hari-hari penuh perjuangan untuk tetap konsisten walaupun
begitu banyak “godaan” di sekitarnya. Coba kalau kita ingat, berapa
banyak orang yang kita tahutelah “berubah” karena lingkungan. Bahkan
kadang kita pun merasakan sendiri betapa sulitnya untuk tetap
“konsisten” sendirian terhadap nilai-nilai yang kita anut pada saat kita
hidup di tengah masyarakat yang menganut nilai yang berbeda.
Kalau saja bukan karena cinta Aisyah yang begitu besar kepada
Tuhannya, mungkin pertahanannya akan runtuh. Kenyataannya, ikatan
emosional yang begitu kuat kepada Allah lah yang membuat dia bertahan,
bahkan pada saat tersulit dalam hidupnya, yaitu menjelang akhir
hayatnya, ketika dia disiksa dengan siksaan yang tak terbayangkan
kejamnya oleh suaminya sendiri!
Hari penyiksaan itu terjadi ketika akhirnya Aisyah mendeklarasikan
dengan lantang keimanannya kepada Allah di depan suaminya. Deklarasi
penuh emosi ini terjadi setelah jiwa Aisyah begitu terguncang
menyaksikan pembantaian atas Masyitah, juru sisir istana, beserta suami
dan dua anak perempuannya yang masih kecil akibat penolakan mereka untuk
mengakui Fir’aun sebagai tuhan.
“Kuperingatkan kau wahai Fir’aun dan kunyatakan bahwa Tuhanku, Sang
Pencipta, Robb-ku, Allahku; dan Tuhanmu juga, Robb-mu, dan Allahmu; dan
Tuhan Masyitah dan anak-anak itu; dan Tuhan langit dan bumi; adalah
Allah yang satu, yang tak seorangpun sanggup menyamaiNya. Dia tak
memiliki tandingan!!”
Harta, tahta, dan keselamatan nyawa adalah kenikmatan duniawi yang
begitu sering dikejar-kejar manusia, bahkan dengan cara haram sekalipun.
Sebagai istri Fir’aun, Aisyah memiliki semua itu dengan berlimpah. Tapi
saat itu, dalam kemarahannya, dia seakan telah melemparkan semua itu ke
muka Fir’aun.
Akibatnya, di atas lempengan batu yang sebelumnya dipakai untuk
membantai keluarga Masyitah jugalah Aisyah akhirnya diikat dan ditindih
dengan sebuah lempengan batu tipis yang di atasnya dinyalakan api.
Lempengan batu tipis itu berubah menjadi semacam setrika besar yang
ditindihkan di atas dada sang Ratu Mulia ini, yang perlahan-lahan
membakar tubuhnya.
Waktu berjalan perlahan mengantarkan Aisyah mendekati kematiannya
dengan cara yang sangat menyakitkan. Tapi segala siksaan keji yang
menyakiti tubuh dan mengalirkan darahnya, maupun paksaan Fir’aun agar
istrinya mengakuinya sebagai tuhan, tak bisa mengurangi sedikitpun cinta
sang istri kepada Tuhannya.
“Api di atasku mulai membakar dan menghanguskan tubuhku, tapi api
cinta yang sempurna dan tak terhingga kepada Allah menyala-nyala dengan
lebih hebat di dalam tubuh ini.”
Dan pada detik-detik akhir hidupnya, dari bibir wanita mulia ini
terucap sebuah doa dan pengharapan kepada Rabb yang begitu dicintainya:
“Ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu di surga…”
Allah telah menyaksikan perjuangan dan pengorbanan total wanita ini,
dan Dia juga memerintahkan para malaikat untuk menjadi saksi atas
ketulusan cinta Aisyah kepada Tuhannya. Dan ketika Aisyah mulai
memejamkan mata menjemput ajalnya, Allah memerintahkan Jibril untuk
menemuinya dan memperlihatkan kepadanya rumah yang telah disediakan
untuk wanita agung ini di surga. Dan Aisyah pun akhirnya wafat dengan
membawa kemenangan atas seorang tiran yang telah gagal memaksanya
bertekuk lutut dan menghianati cinta sejatinya kepada Rabb-nya.
Sebenarnya, ada beberapa versi yang agak berbeda tentang siksaan apa
yang harus ditanggung Aisyah pada akhir hidupnya. Sebagian menyatakan
bahwa dia digantung. Sebagian lagi menyatakan bahwa dia diikat dan
dicambuki sampai mati. Namun pada intinya, apapun siksaan yang telah
dialaminya, itu tetap sebuah ujian yang sangat berat bagi manusia
manapun juga. Dan “keberhasilan” Aisyah melalui ujian ini menunjukkan
kepada kita apa arti “jatuh cinta” kepada Khalik yang sebenarnya. Tidak
heran apabila nama Aisyah adalah salah satu dari sedikit nama yang
“dimuliakan” Allah dalam Al Qur’an sebagai contoh “ideal” orang yang
beriman:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah disisi-Mu dalam surga, dan selamatkan aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zalim.” – QS At Tahrim:
11
0 Response to "Wanita - Wanita Penghuni Surga "
Posting Komentar